Oleh: Seprianus Bantaika
1. Pendahuluan
Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian, karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.
Agar tidak menjadikan peserta didik kita merasakan tekanan dalam lingkungan sekolah, perlu adanya menciptakan suasana positif di lingkungan sekolah. Urgensi dari menciptakan suasana positif di lingkungan sekolah dimana penerapan budaya positif perlu dibarengi dengan kejelasan visi pendidikan indonesia secara umum ,dan visi misi sekolah secara khususnya. faktor hubungan antara guru dengan murid menjadi faktor yang sangat penting dalam penerapan budaya positif di sekolah karena setiap hari guru adalah orang yang paling sering berinteraksi dengan murid. Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang menjadi rumah kedua bagi siswa. Sekolah merupakan tempat siswa belajar dan mengembangkan diri baik secara akademik maupun nonakademik untuk meraih cita-cita yang diinginkan. Siswa membutuhkan perasaan aman, dihargai dan diterima oleh guru dan teman-temannya di sekolah. Oleh karena itu, siswa akan belajar dengan lebih baik ketika mereka memiliki persepsi yang positif terhadap sekolahnya. Lebih lanjut, Urgensi dari menciptakan suasana positif di lingkungan sekolah yaitu dengan menciptakan hubungan yang harmonis antara peserta didik dan pendidikan. suasana yang harmonis peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
Hal-hal tersebut di atas bisa terlaksana jika:
siswa dihargai dan dihormati meskipun memiliki karakteristik berbeda. Keanekaragaman inilah yang membentuk keunikan dari masing-masing siswa. Setiap siswa patut untuk diperlakukan sama tanpa adanya tindakan diskriminatif meskipun memiliki keragamannya masing-masing.
siswa dapat belajar dengan tenang, siswa harus merasa aman baik secara fisik maupun psikologis. Siswa harus bebas dari segala bentuk tekanan yang menghalangi kebebasannya untuk mengekspresikan diri.
Adanya kedekatan saya selayaknya sebagai orang tua kedua bagi siswa di sekolah, sedangkan teman-temannya di sekolah layaknya saudara bagi siswa. Kedekatan dapat terbentuk ketika adanya sikap saling menghargai, memahami, dan saling mendukung satu sama lain. 4.
Sebagai guru, saya harus bisa memosisikan diri sebagai manager di kelas dan bisa menjadi coach untuk murid.
Lebih lanjut, kita sebagai pendidik juga harus memberikan contoh dan keteladanan yang baik Untuk menciptakan suasana positif di lingkungan sekolah. Untuk memulainya, kita wajib memulai dari diri sendiri untuk menjadi pribadi yang berpikiran terbuka dan selalu melakukan tindakan yang positif di lingkungan sekolah. Dengan memiliki pemikiran dan tindakan positif di lingkungan sekolah, maka kita sebagai guru akan mejadi role model bagi para peserta didik. Dengan menciptakan suasana yang positif maka akan ada saling menghormati dan menghargai antar warga sekolah, ketika sikap saling menghormati diimplementasikan maka akan ada sikap saling medukung dan menghargai setiap perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam lingkungan sekolah.
Hubungan antara menciptakan suasana yang positif dengan proses pembelajaran yang berpihak pada murid yaitu dengan adanya suasana sekolah yang positif akan membuat siswa merasa nyaman dan tentram serta memiliki semangat untuk belajar. Siswa diberi kesempatan untuk berkreasi sesuai kodrtanya tanpa intimidasi dari guru atau pihak manapun. Hal ini sebagai pendukung proses pembelajaran yang berpihak pada murid. Penekanannya adalah membangun kekuatan peserta didik daripada mengkritik kelemahan mereka dan menggunakan penguatan positif untuk mempromosikan perilaku yang baik. Selain itu, Dengan adanya suasana yang positif dalam proses pembelajaran, maka akan ada suasana atau aura yang bahagia yang bisa terpancar dari dalam diri peserta didik.
Dengan adanya suasana yang positif, kita bisa mengajarkan siswa untuk tampil dengan kekuatan yang mereka miliki sehingga mereka akan mengoptimalkan kemampuan yang mereka punya tanpa ada keraguan atau takut salah. Dengan suasana positif yang kita bawa dalam kelas, maka akan ada hal-hal positif dari kegiatan pembelajaran tersebut seperti siswa dengan berani menyampaikan pendapat mereka tentang suatu materi atau bisa mengkreasikan sesuatu yang orisinil. Dengan adanya suasana yang positif maka segala hal yang dilakukan akan menghasilkan sebuah kebahagiaan yanga akan dirasakan oleh para peserta didik. Dengan suasana positif maka anak akan bahagia. Karena bahagia maka akan mudah dalam mengikuti pembelajaran tanpa ada paksaan.
Untuk menjadikan semuanya itu, kita haruslah butuh pendampingan dan pembimbingan yang optimal serta komitmen yang tinggi dari seorang guru.
Dalam kerangka membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita. Pembahasan disiplin kali ini akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane Gossen. Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari Diane Gossen, mari menyamakan model berpikir kita tentang disiplin itu sendiri. Lazimnya disiplin dikaitkan dengan kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam menghadapi murid.
Bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku pribadi atau diri sendiri. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. kita harus merubah bagaimana kita melihat dunia, bagaimana kita berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma kita tentang skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.
Sadar atau tidak, kita telah menggunakan Ilusi yang membuat anak didik kita merasa bersalah dengan tindakan yang mereka buat dan itu sangat mengganggu perkembangan mental mereka.
Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:
Ilusi guru mengontrol murid.
Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.
Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter.
Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.
Ilusi-ilusi di atas akan menjadikan peserta didik kita akan menjadikan diri mereka bersalah jika tidak melakukan apa yang diinginkan pendidik. Selama ini kita para guru melakukan kesalahan interpretasi dalam memahami dan menginterpretasikan teori kontrol. Seharusnya kita memahami bahwa realitas/kebutuhan kita berbeda, setiap orang memiliki gambaran berbeda, kita harus berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia, kita harus menyadari bahwa setiap perilaku yang ditunjukan seseorang memiliki tujuan, bahwa kita hanya bisa mengontrol diri kita dan tiodak dapat mengontrol orang lain.
Selain itu kita harus berkolaborasi dan menyepakati hal- hal atau pilihan -pilihan yang tidak merugikan satu sama lain. selanjutnya, tidak tepat rasanya meminta murid untuk menyesuaikan diri dengan keinginan kita dan tidak seharusnya kita memaksa murid untuk mengikuti keinginan kita dengan alasan demi kebaikan. Sebab yang baik menurut pikiran kita belum tentu baik menurut pikiran murid. Oleh karena kita perlu komunikasi yang baik dengan murid untuk mengetahui pandangan dan keinginan mereka tentang hal yang baik itu seperti apa? Sehingga dengan demikian kita guru dan murid dapat membuat kesepakatan- kesepakatan yang dapat menciptakan hal -hal baik bagi murid dan juga hal tersebut diyakini murid sebagai suatu kebaikan sehingga mereka dapat meleaksanakan kesepakatan tersebut dengan penuh tanggung jawab.
Apa yang dilakukan kita selama ini dalam adalah merupakan ilusi-ilusi yang mengajak siswa untuk mengikuti segala keinginan kita. Semua keempat ilusi yang dipaparkan merupakan hal-hal yang dilakukan selama ini untuk bisa mengontrol siswa untuk melakukan yang kita inginkan tanpa bertanya kepada siswa apa yang mereka inginkan dari kita sebagai seorang guru. Sebagai seorang guru kita harus kembali merefleksikan diri bahwa hal-hal yang dibuat selama ini adalah ilusi-ilusi yang memaksa anak untuk mengikuti segala pola pikir yang kita punya sebagai seorang guru.
Dari penjelasan ilusi kontrol di atas kita juga bisa kita mengambil makna bahwa meminta murid menyesuaikan diri dengan keinginan kita adalah cara yang tidak baik dalam mengembangkan karakter anak dalam hal kebebasan. Cara yang mungkin bisa kita gunakan untuk mengganti dari meminta murid menyesuaikan keinginan kita sebagai guru adalah dengan melaksanakan"KESEPAKATAN KELAS" ATAU "KESEPAKATAN BERSAMA dengan menggunakan "Kesepakatan Bersama" seluruh siswa dan guru akan bersepakat melakukan hal-hal yang sesuai dengan ide atau masukan dari setiap siswa agar bisa diikuti secara bersama-sama. Dengan kesepakatan bersama maka segala keinginan bukan hanya dari pihak guru juga keinginan dari pihak siswa. Dengan adanya kesepakatan, maka tidak ada lagi "Monopoli" karena semua menyampaikan ide atau masukan yang disepakati dan dilaksanakan secara sadar bersama-sama.
2. KESIMPULAN TENTANG BUDAYA POSITIF
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)
Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.
Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri)
Dari kutipan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa untuk menjadikan sebuah lingkungan sekolah yang memiliki budaya positif, maka perlu adanya niat, tekat dan cakap dalam mendisiplinkan diri sendiri.
Untuk mendukung kedisiplinan dalam diri tersebut diperlukan adanya kesepakatan kelas atau keyakinan kelas yang bisa kita pakai bersama guna mendukung kedisiplinan dalam diri. Dalam keyakinan atau kesepakatan kelas, kita semua menyepakati hal-hal apa saja yang akan dilakukan guna mendukung tanggung jawab peserta didik dalam mendisiplikan diri mereka sendiri. Di dalam Keyakinan kelas kita mempersiapkan Nilai – nilai kebajikan yang akan ditawarkan kepada peserta didik dan dipilih secara demokratis oleh semua warga kelas.
Namun ketika kesepakatan kelas tersebut dilanggar, maka kita sebagai pendidik wajib bisa menganalisis kebutuhan dasar dari peserta didik yang melanggar keyakinan kelas yang telah disepakati bersama. Dengan mengetahui kebutuhan dasar dari siswa yang lekakukan pelanggaran, maka kiat sebagai guru bisa memposisikan diri menjadi manejer dimana kita bersama-sama dengan siswa tersebut mencari jalan keluar bersama guna memperbaiki kesepaktan kelas yang telah dilanggar. Dengan menajdikan diri kita sebagai seorang manajer, kita bisa melakukan Segitiga Restitusi untuk bersama-sama kembali menguatkan mental dan semangat siswa tersebut agar bisa kembali ke dalam komunitas kelas dengan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.
3. Hubungan Budaya Positif dengan materi yang lain pada paket Modul 1 (Pendidikan Calon Guru Penggerak)
3.1 Hubungan Budaya Positif dengan Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara pernah berkata: Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga guru dalam hal ini sebagai seorang petani harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian, karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.
Hubungan dengan Filosofi pendidikan Ki hajar Dewantara Bahwa dalam Filosofi Kihajar Dewantara kita dituntut untuk dapat menuntun anak mencapai kebahagiaannya. Nah … untuk menciptakan anak yang memiliki budaya positif, perlu adanya tuntunan dari kita sebagai guru. Berada di depan menjadi teladan….berada di tengah untuk membimbing dan memotivasi...berada di belakang untuk mendorong anak untuk maju. Setiap anak punya karakter dan kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi dan kita perlu untuk memahaminya dan menolong anak mencapai kebutuhan tersebut dengan cara yang positif.
Dari kutipan di atas, Ki Hajar mengajak lingkungan sekolah sebagai lahan dan kita guru sebagai petani untuk menjadikan lingkungan tempat bersemayamnya benih-benih kehidupan aman dan nyaman untuk mereka tumbuh dengan baik. Untuk memastikan benih-benih itu tumbuh dengan baik maka kita para guru harus memulai dari diri sendiri untuk menjadi teladan yang baik dan perlu adanya tuntunan dari kita sebagai guru. Berada di depan menjadi teladan, berada di tengah untuk membimbing dan memotivasi. dan berada di belakang untuk mendorong anak untuk maju menjadi yang terbaik bagi diri mereka. Setiap anak itu unik, punya karakter, kreativitas dan kebutuhan dasar yang berbeda-beda yang perlu dipenuhi dan kita perlu untuk memahaminya dan menolong anak mencapai kebutuhan tersebut dengan cara yang positif.
3.2 Hubungan Budaya Positif dengan Peran dan Nilai Guru Penggerak
Untuk menjadikan Budaya yang positif dalam lingkungan sekolah, Calon Guru penggerak wajib memiliki hal-hal yang bisa mendukung terjadinya budaya positif tersebut. Dengan Memiliki Peran dan nilai dalam diri seorang guru penggerak maka akan muncul nilai kemandirian, Refleksi, inovatif dan kolaboratif yang kesemuanya itu akan bermuara pada keberpihakan pada peserta didik.
Dengan memiliki Peran dan Nilai guru penggerak maka akan muncul budaya positif dari dalam diri pendidik yang bisa mentransfer budaya positif tersebut ke dalam diri peserta didik seluruh warga sekolah.
3.3 Hubungan Budaya Positif dan Visi Guru Penggerak
Memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Budaya sekolah berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Kebiasaan ini dapat berupa sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga sekolah. Walaupun sulit, reformasi budaya sekolah bukanlah hal yang tidak mungkin. Untuk melakukannya diperlukan orang-orang yang bersedia melawan arus naif tentang inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang bersifat manusiawi. Hal ini berarti butuh partisipasi dari semua warga sekolah (Evans (2001)
Untuk menuju Perubahan budaya positif maka diperlukan juga Visi atau gambaran yang positif tentunya tentang arah tujuan. Untuk dapat mewujudkan visi pribadi maupun visi sekolah, maka perlu sebuah pendekatan atau paradigma yang positif juga. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Untuk mencapai budaya positif dalam sebuah visi pribadi maupun visi sekolah maka kita harus menggunakan pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas dan berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.
Untuk menggali hal-hal positif dan kekuatan yang dimiliki oleh sekolah dan warga sekolah maka kita harus menggunakan Pendekatan B-A-G-J-A..
Dengan menggunakan pendekatan BAGJA maka akan muncul hal-hal positif yang bisa dipakai dalam mengembangkan budaya positif yang ada di lingkungan sekolah.
4. Refleksi Budaya Positif
Keyakinan kelas atau keyakinan sekolah wajib dibuat guna mengajak diri siswa untuk memahami dan melaksanakn self discipline.
Menentukan hal-hal kebajikan yang diyakini untuk dilaksanakan secara sadar dan bersamam-sam semua warga kelas.
Guru wajib mengajak anak untuk memunculkan motivasi intrinsik (dalam diri) agar dengan sadar melaksanakan keyakinan kelas yang sudah disepakati bersama.
Seorang guru harus bisa menganalisi kebutuhan dasar dari setiap siswa. Dengan mengetahui kebutuhan dasar siswa
Guru wajib untuk menjelaskan dampak yang harus dihadapi sang anak ketika melakukan kesalahan.
Memberikan waktu dan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan restitusi
Menurut Pendapat penulis, dengan adanya budaya positif dalam hal ini pembentukan kesepakatan kelas akan memberikan kesempatan kepada kepala sekolah dan juga warga sekolah agar bisa merumuskan Tata-tertib sekolah secara adil karena Tata-tertib sekolah diambil dari kesepakatan antara guru dan murid. Dengan membuat tata tertib sekolah berlandaskan kesepakatan kelas maka secara sadar seluruh warga sekolah akan melaksanakannya karena ada kesepakatan bersama sebelumnya di dalam kelas sehingga budaya-budaya positif tersebut akan dibawa ke peraturan sekolah. (Seprianus Bantaika)
5. Rancangan Tindakan Untuk Aksi Nyata
5.1 Latar Belakang
Budaya positif merupakan sebuah tindakan nyata yang bermuara pada kebahagiaan seutuhnya diri peserta didik. Dengan memiliki lingkungan yang positif maka akan diikuti oleh budaya yang positif. Untuk menjadikan lingkungan sekolah yang berbudaya positif dibutuhkan kerja sama atau kolaborasi dengan semua pihak yaitu kepala sekolah, orang tua, siswa dan juga para guru.
Untuk menumbuhkan budaya positif kita guru harus memulai dari diri sendiri untuk menjadi role model atau contoh dalam mendisiplinkan diri. Dengan memberikan contoh budaya positif maka diharapkan agar mampu memberikan pengaruh yang positif yang bisa diikuti oleh seluruh warga sekolah.
Sebagai Guru yang berada pada jaman modern sekarang ini, kita dituntut untuk bisa menghargai Kodrat alam dan kodrat zaman dari para peserta didik. Hal ini membuat guru diperhadapkan berbagai macam karakter dan kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi, sedangkan kodrat zaman mengikuti perkembangan zaman yang terjadi sehingga guru harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ini.
Untuk melakukan Budaya positif dibutuhkan sebuah kesepakatan kelas yang berujung pada keyakinan kelas yang terdapat hal-hal kebajikan yang mengarah pada kebiasaan-kebiasaan positif dari peserta didik.
5.2 Tujuan
Menjadikan kelas yang demokratis
Murid mendalami nilai-nilai kebajikan yang dituangkan pada keyakinan kelas
Murid menjalankan nilai-nilai kebajikan yang ditunagkan pada keyakinan kelas
Murid berpikir dan bertindak positif
Menajdikannilai-nilai kebajikan yang ditunagkan pada keyakinan kelas menjadi budaya positif yang terus dilestarikan
Bersama-sama menjadikan kelas yang penuh warna dan kebahagiaan
Murid saling memahami dan menghormati perbedaan kebutuhan dasar
Saling berkolaborasi
Motivasi Intrinsik muncul dengan sendirinya
Tidak ada keterpaksaan dalam melaksanakan keyakinan kelas
Bermuara pada Profil Pelajar Pancasila
5.3 Tolak Ukur
Semua warga sekolah datang ke sekolah tepat waktu (disiplin)
Mengawali dan mengakhiri kegiatan pembelajaran dengan berdoa.
Murid mengikuti kegiatan pembelajaran sesuai kesepakatan/keyakinan kelas
Murid dapat berkolaborasi dengan mudah dengan teman dan gurunya
Saling menghormati dan menghargai antara murid dengan murid dan antar murid dengan guru. -Rellasi yang baik antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan gurunya
Tidak ada pendekatan dengan hukuman ketika melakukan kesalahan
Secara sadar peserta didik mengetahui knsekuensi dari melanggar keyakinan kelas
Guru menjadikan diri sebagai pengontro, teman dan juga manajer
5.4 Linimasa Tindakan yang akan dilakukan
Memperkenalkan konsep budaya positif kepada seluruh warga sekolah.
Memberikan Informasi kepada rekan sejawat tentang cara terbaik untuk menangani siswa dengan Cara Restitusi
Menggali pemahaman siswa tentang nilai-nilai kebajikan.
Membuat kesepakatan kelas
Membangun keyakinan kelas
Membuat instrument pencapaian hasil Melakukan refleksi
Melakukan refleksi bersama ❏ Berkolaborasi dan berkomitmen bersama untuk membudayakan restitusi di sekolah
5.5 Dukungan Yang Dibutuhkan
Dukungan moril dari teman guru, orang tua dan kepala sekolah.
Dapat mengakses Lap Komputer agar bisa dipakai untuk memberikan informasi tentang Sehitiga Restitusi
Laptop, LCD, ketika melakukan pembelajaran
Komunitas praktisi
Sekian dan Terima Kasih
Salam dan Bahagia
Comments