top of page

Contoh jawaban 2 modul 2.2.a.9. Pembelajaran Sosial Emosional (Pendidikan Calon Guru Penggerak)

Contoh jawaban modul 2.2.a.9.

Pembelajaran Sosial Emosional (Pendidikan Calon Guru Penggerak)

1. Pendahuluan

"Mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mungkin diwujudkan dengan pendidikan yang memerdekakan dan membentuk karakter kemanusiaan” (Ki Hajar Dewantara).


Kutipan diatas merupakan awal mula dari kegerakan baru di dunia pendidikan ini. Konsep pendidikan ini sebenarnya sudah dilontarkan bapak Pendidikan kita jauh sebelum Indonesia Merdeka.

Ki Hajar berpendapat bahwa jalan satu-satunya memerdekakan manusia serta membahagiakan manusia lahir dan batin adalah melalui pendidikan yang berpihak pada manusia itu sendiri.


Pertama kali membaca konsep pendidikan ini menimbulkan pertanyaan di benak penulis, apa maksudnya dan bagaimana caranya memerdekakan dan membahagiakan peserta didik? karena menurut penulis, penulis merasa apa yang sudah dilakukan selama ini bisa dikatakan penulis sudah memberikan kebahagiaan dan kemerdekaan untuk peserta didik.


Lalu, apa sebenarnya maksud dari konsep konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut?

Setelah 13 minggu penulis lewati dalam Pendidikan Calon Guru Penggerak dan masih terus berlanjut, penulis mulai sadar bahwa ilmu yang penulis praktek kan selama ini lebih memfokuskan pada kebahagiaan dan kemerdekaan diri penulis dalam mengajar dan tidak mempedulikan kebahagiaan dan kemerdekaan peserta didik. Lebih dari itu, penulis merasa sebelum mengikuti pendidikan guru penggerak ini, penulis merasa bahwa sudah memiliki bekal yang banyak untuk menjadi guru yang hebat. Namun semuanya terbalik 180 derajat setelah mengikuti pendidikan ini.

Penulis harus mengakui bahwa ilmu guru yang dimiliki penulis belum bisa memberikan kebahagiaan dan kemerdekaan bagi peserta didik.



Untuk menjadikan kebahagiaan dan kemerdekaan belajar bagi peserta didik, kita hurus menggali lebih dalam lagi tentang apa maksud dari Ki Hajar Dewantara tentang konsep pendidikan yang sebenarnya.


Akar pendidikan Ki Hajar Dewantara menempatkan kemerdekaan dan kebahagiaan sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian serta kemerdekaan batin bangsa Indonesia agar peserta didik selalu kokoh berdiri membela perjuangan bangsanya. Hal itu dikarenakan kemerdekaan dan kebahagiaan menjadi tujuan pelaksanaan pendidikan, maka sistem pengajaran haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa. Untuk itu, di mata Ki Hajar Dewantara, bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat.


Lebih dari itu, pendidikan merupakan suatu proses pembudayaan sebagai usaha dalam memberikan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dan tujuan Pendidikan adalah “menuntun segala kekuatan kodrat” yang ada pada anak – anak, agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Salah satu konsep yang sangat terkenalkan dari Ki Hajar Dewantara adalah momong, among, dan ngemong yang kemudian dikembangkan menjadi tiga prinsip kepemimpinan di Taman Siswa: Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Ing Ngarsa Sung Tuladha berarti pendidik harus bisa memberi teladan atau contoh, Ing Madya Mangun Karsa artinya, ditengah-tengah pendidik harus bisa menciptakan prakarsa dan ide, dan Tut Wuri Handayani artinya dari belakang seorang pendidik harus bisa memberikan dorongan dan arahan.


Selanjutnya, konteks pendidikan dan pengajaran Ki Hajar Dewantara mengarahkan kita manusia pada kemerdekaan sejati. Senantiasa menghantarkan manusia pada kemerdekaan lahir batin. Karena pada hakekatnya pendidikan itu tuntutan dalam diri yang merupakan tuntutan kodrati yang ada dalam diri untuk bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Kebahagiaan dan keselamatan itulah buah/ hasil dari pendidikan yang memerdekakan. Untuk mencapainya dibutuhkan pengajaran yang mementingkan nilai keluruhan dan kecerdasan budi.


Ki Hajar Dewantara juga menekankan tentang pentingnya pendidikan yang memerdekakan artinya peserta didik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan potensi diri dan membentuk kepribadian. Pendidikan tidak boleh dilaksanakan dengan sistem paksaan kepada peserta didik. Ruang ekspresi dan aktualisasi diri harus dibuka seluas-luasnya harus bisa diakses dan diberikan kepada peserta didik, agar masing-masing peserta didik dapat. memanfaatkan ruang itu untuk mengembangkan dirinya. Pada konteks ini sistem pengajaran haruslah berfaedah bagi pembangunan jiwa dan raga bangsa dengan mengedepankan kelangsungan kehidupan batin dan kecintaan pada tanah air. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tentang upaya memajukan pertumbuhan budi pekerti karena budi pekerti merupakan bagian yang terintegrasi dari sebuah proses pendidikan yang tidak boleh diabaikan.



Ki Hajar Dewantara juga melihat bahwa manusia lebih pada sisi kehidupan psikologinya. Menurutnya, manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai paksaan. Ia menginginkan peserta didik harus menggunakan dasar tertib dan damai, tata tenteram dan kelangsungan kehidupan batin, kecintaan pada tanah air menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan menentukan kualitas seseorang.

Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus, akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.


Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara juga mengedepankan pendidikan karakter. Beliau mengajarkan bagaimana kita bisa memerdekakan diri kita sendiri dan tentu saja merdeka sebagai rakyat, bangsa, dan negara. Singkatnya, Ki Hajar Dewantara mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang percaya diri baik sebagai individu maupun bagian dari bangsa Indonesia.


Gagasan pemikiran dan prinsip-prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara sesungguhnya telah menjadi dasar acuan visi Presiden RI, Joko Widodo di bidang pendidikan. Dalam visi presiden, masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh generasi peserta didik masa kini yang memiliki karakter atau budi pekerti yang kuat serta menguasai berbagai bidang keterampilan hidup, vokasi dan profesi abad 21, menuju Indonesia emas 2045. Karena itu, gagasan revolusi mental yang dipopulerkan oleh Jokowi sangat berhubungan erat dengan gagasan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Profil pelajar Pancasila menuju era emas sangat mutlak diperlukan agar budaya bangsa tetap khas dan kuat serta harus menjadi identitas bangsa, mengingat perkembangan zaman dan arus budaya luar sangat kuat pengaruhnya dan dapat melunturkan budaya bangsa, dan akhirnya bangsa kita bisa kehilangan jati dirinya. Itulah yang dimaksudkan dengan Kemerdekaan Budaya menurut cita – cita Ki Hajar Dewantara.


Lebih lanjut, Konteks Pendidikan nasional umumnya dan di sekolah khususnya saat ini memiliki segudang persoalan. Disamping kandungan pendidikan dan pengajaran sekarang ini tidak memuat nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan kini hanya melahirkan sikap individualisme dan hilangnya jiwa merdeka dalam belajar. Hasil pendidikan seperti ini tidak dapat diharapkan membangun kehidupan bangsa dan negara bermartabat.


Dari permasalahan di atas, maka muncullah program merdeka belajar yang di kembangkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan, yang menekankan tentang kemandirian dan kemerdekaan bagi setiap lingkungan pendidikan untuk menentukan sendiri cara-cara terbaik dalam proses pembelajaran. Peserta didik diberikan kesempatan untuk belajar sesuai level pengetahuan dan keterampilan. Nilai di atas kerta tidak lagi menjadi target proses pembelajaran yang menakutkan peserta didik melainkan peningkatan soft skill yang di-gandeng dengan pembelajaran sosial emosional yang mengajak siswa bukan hanya berpikir positif dan problemsolving namun juga memiliki jiwa sosial dan empati yang tinggi.

Guru adalah teladan yang perlu di dengar ucapannya dan ditiru perbuatannya, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Ki Hajar Dewantara juga mengedepankan pendidikan karakter. Beliau mengajarkan bagaimana kita bisa memerdekakan diri kita sendiri dan tentu saja merdeka sebagai rakyat, bangsa, dan negara. Singkatnya, Ki Hajar Dewantara mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang percaya diri baik sebagai individu maupun bagian dari bangsa Indonesia.


Dalam aspek pengajaran, seorang pendidik yang baik, kata Ki Hajar Dewantara, harus tahu bagaimana cara mengajar, memahami karakter peserta didik dan mengerti tujuan pengajaran. Agar dapat mewujudkan hasil didikan yang mempunyai pengetahuan yang mumpuni secara intelektual maupun budi pekerti serta semangat membangun bangsa sehingga cita-cita profil pelajar pancasila, kemerdekaan dan kebahagiaan peserta didik yang dicita-citakan menjadi kenyataan.

Sebagai pendidik hanya dapat membantu siswa-siswi kita dengan cara menuntun mereka sehingga dapat bertumbuh dan hidup dengan baik serta menghasilkan "buah -buah" yang baik. Itulah peran pendidikan untuk membantu anak didik kita agar bisa lebih baik. Kita ibaratkan tanaman jagung yang tumbuh, diberi pupuk, disirami, serta dirawat dengan dengan baik akhirnya berbuah dan menghasilkan buah yang baik dan berguna bagi kehidupan makhluk hidup lainnya.

Lebih lanjut, kita juga tahu bahwa saat ini bangsa kita sedang menghadapi revolusi industri 4.0 yakni percepatan revolusi teknologi. Mau tidak mau, kita sebagai pendidik harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Misalnya ketika kita kurang paham tentang penggunaan teknologi seperti aplikasi-aplikasi baru yang menunjang kita dalam kegiatan pembelajaran, maka kita tidak boleh pasrah dengan keadaan. kita harus giat mencari tahu dan terus belajar agar kita tidak tertinggal dan terkikis oleh perkembangan zaman. Kita ini guru, klo kita tidak mau berubah, bagaimana caranya kita bisa membimbing dan menuntun anak di era 4.0? Jika demikian yang terjadi adalah ibaratkan tanaman jagung yang tumbuh dan tidak diperhatikan dan dirawat dengan baik, maka tanam tersebut akan merana dan tidak dapat menghasilkan buah yang baik bahkan tanaman itu bisa mati.

Agar bisa menjadikan pendidikan yang memerdekakan dan berpihak pada kebahagiaan peserta didik, perlu adanya senjata yang hebat yang memiliki amunisi-amunisi yang handal untuk dapat melaksanakan niat tersebut. Senjata tersebut adalah Guru itu sendiri. Guru adalah senjata utama dalam menjalankan visi tersebut di atas yaitu memerdekakan dan berpihak pada kebahagiaan peserta didik. Namun, sebaik apapun senjata tersebut jika tidak memiliki amunisi atau peluru yang handal maka tidak akan mencapai target yang diharapkan.

Amunisi atau peluru yang dimaksud untuk mendukung senjata yang hebat (Guru) adalah:

  1. Harus memiliki nilai dalam diri seperti berjiwa mandiri,reflektif, kreatif, kolaboratif yang dimana nilai tersebut akan menjadikan keberpihakan pada peserta didik.

  2. Memiliki visi yang jelas tentang akan seperti apa siswa kita kelak

  3. Memiliki budaya positif dalam diri dan bisa menularkannya ke orang lain

  4. Memberikan kebebasan dan kebahagiaan kepada siswa dalam hal memilih jenis belajar apa yang mereka inginkan dengan pembelajaran berdiferensiasi.

  5. Mampu mengontrol diri dan emosi serta mengajarkannya kepada peserta didik di dalam kelas dengan menggunakan pembelajaran Emosional.

Lima amunisi tersebut di atas memberikan keleluasaan kepada guru (Senjata) agar mampu memberikan kemerdekaan dan

Seorang guru yang baik adalah seorang guru yang terus belajar untuk mengembangkan dirinya secara pribadi. Dalam melaksanakan konsep pendidikan dari Ki hajar dewantara harus diakui bahwa kita belum mengaplikasikan semuanya dalam kelas dan konsep merdeka belajar belum sepenuhnya dilaksanakan.


Dari penjelasan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan adalah Perubahan. Pendidikan dan kebudayaan tidak boleh statis tetapi harus terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Dalam lingkungan kebudayaan kita yang beragam, kita harus belajar bukan untuk menyamakan kebudayaan tetapi untuk menguatkan masing-masing kebudayaan tersebut.

Pokok dari semua budaya dimanapun kebudayaan itu berada adalah nilai-nilai kemanusiaan.

PERUBAHAN HARUS SEIMBANG ANTARA OLAH CIPTA, OLAH RASA, OLAH KARSA DAN OLAH RAGA.

PENDIDIKAN ITU HARUS HOLISTIK DAN SEIMBANG SEHINGGA MENCIPTAKAN KESEMPURNAAN BUDI PEKERTI YANG MEMBAWA ANAK PADA KEBIJAKSANAAN

SEMUA YANG DILAKUKAN HARUS BERORIENTASI PADA ANAK SEHINGGA DIANALOGIKAN BAHWA GURU HARUS BERHAMBA PADA MURID .

2. Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) Dalam Pembelajaran di Kelas


Menjadikan kelas yang berpihak pada anak didik kita bukanlah sebuah perkara yang gambang seperti membalikkan telapak tangan. Perlu sebuah effort khusus bagi seorang pendidik agar mampu menjadikan kelas tertuju pada kebahagiaan peserta didik

Seorang guru tidak hanya dengan bermodalkan "NIAT" namun juga harus ada rencana yang terstruktur bagaimana bisa menjadikan kelas tempat untuk bisa mengembangan pengetahuan siswa dan juga bisa mengembangkan budaya positif serta sisi sosial emosional para peserta didik.

Niat tanpa diikuti dengan persiapan dan bekal yang matang oleh seorang guru maka kita hanya akan mendapatkan peserta didik yang lebih berfokus pada hasil akhir tanpa melalui proses bagaimana mencapai hasil tersebut.

Jika guru bermodalkan NIAT saja untuk masuk ke kelas, maka yang ada hanya akan membuat suasana kelas yang monoton yang berfokus pada nilai di atas kertas.

Selain tugas mengajar di depan kelas, mengoreksi pekerjaan murid dan memberikan umpan balik, menghadiri rapat dengan orang tua murid untuk mendiskusikan masalah kedisiplinan dan disusul dengan menulis laporan kepada kepala sekolah, dan berbagai tugas sebagai wali kelas atau panitia kegiatan sekolah.

Cerita-cerita di atas merupakan beberapa hal-hal penting yang sering kita alami sebagai seorang guru dimana selain mengajar, ada tugas-tugas tambahan yang kadang kala memacu sisi emosional kita yang positif atau yang negatif.

Namun, Sangat jarang kita merespon banyak tugas tambahan tersebut dengan Emosi yang positif karena sadar ataupun tidak, sebagian besar dari kita akan meresponnya dengan sisi emosional negatif kita.

Waktu dan tenaga akan menjadi tolak ukur apakah tugas-tugas tambahan tersebut dapat kita lakukan atau tidak.

Kebanyakan dari kita beralasan ada kegiatan lainnya di luar sekolah yang juga sama pentingnya seperti memiliki riwayat sakit, menjalankan bisnis untuk mencari uang tambahan, mengikuti kegiatan komunitas, LSM dan lain-lain.

Alasan tersebut di atas menjadi senjata ampuh untuk menghindari agar tugas-tugas yang diterimanya bisa diberikan kepada guru yang lain. Ada kalanya para guru menerima tantangan tersebut dengan embel-embel tentang nilai nominal yang bisa didapatkan dari tugas yang diberikan.

Ada juga guru yang menerima tantangan tersebut hanya untuk mendapatkan angka kredit yang bisa membantu kenaikan pangkat.

Penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa apapun kegiatan yang dilakukan lebih berfokus terhadap apa yang akan di dapat oleh kita guru ketimbang hal positif yang didapat oleh siswa dan lembaga sekolah ketika kita melakukan tugas tersebut dengan baik.

Selain kita guru, siswa-siswi kita pun mengalami situasi yang sama. Mereka dihadapkan dengan berbagai tantangan untuk dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Selain tugas-tugas akademik, mereka juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan fisik, hubungan dengan teman sebaya, mencapai kemandirian dan tanggung jawab diri dalam keluarga dan masyarakat, menyiapkan rencana studi dan karier, dan lain-lain.

Untuk menghadapi berbagai situasi dan tantangan yang kompleks ini, baik pendidik maupun murid membutuhkan berbagai bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan agar dapat mengelola kehidupan personal maupun sosialnya. Pembelajaran di sekolah harus dapat mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, baik aspek kognitif, fisik, sosial dan emosional.

Untuk dapat mengelola kehidupan personal maupun sosial dalam pribadi guru maupun murid, Pembelajaran di sekolah harus dapat mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, baik aspek kognitif, fisik, sosial dan emosional.

Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) dapat membantu kita guru dalam pemahaman dan penerapan dalam mengelola aspek sosial dan emosional diri sendiri sekaligus dapat menerapkannya pembelajaran sosial dan emosional pada murid secara lebih sistematik dan komprehensif.

Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) akan sangat bermanfaat dan lebih lengkap di kelas jika kita bisa mengkolaborasikan dengan pembelajaran berdiferensiasi dan budaya positif karena itu akan menumbuhkan dan mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, baik aspek kognitif, fisik, sosial dan emosional.

Dari penjelasan di atas, kita bisa mengaitkan dengan kutipan dari

Bapak Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa:

“Pendidikan Budi Pekerti berarti pembelajaran tentang batin dan lahir. Pembelajaran batin bersumber pada “Tri Sakti”, yaitu: cipta (pikiran), rasa, dan karsa (kemauan), sedangkan pembelajaran lahir yang akan menghasilkan tenaga/perbuatan. Pembelajaran budi pekerti adalah pembelajaran jiwa manusia secara holistik. Hasil dari pembelajaran budi pekerti adalah bersatunya budi (gerak pikiran, perasaan, kemauan) sehingga menimbulkan tenaga (pekerti). Kebersihan budi adalah bersatunya cipta, rasa, dan karsa yang terwujud dalam tajamnya pikiran, halusnya rasa, kuatnya kemauan yang membawa pada kebijaksanaan.”

Hal yang menarik yang telah penulis pelajari sejauh ini adalah:

  1. Bagaimana bahagia bisa menjadi senjata yang baik bagi kita untuk menghargai apa yang kita punya dan dari kebahagiaan tersebut kita dapat membangun hubungan dan kolaborasi bersama orang lain tanpa mengenal umur, kasta dan derajat atas dasar saling hormat dan menghargai.

  2. Emosi jika digunakan pada momen tertentu akan berdampak positif maupun negatif tergantung bagaimana kita merespon emosi tersebut.

  3. Pembelajaran Sosial dan Emosional membantu kita sebagai guru untuk memahami dan membangun hubungan positif serta mampu mengerti hubungan; emosi menarik perhatian, dan perhatian mendorong terjadinya proses belajar. Dan yang paling terpenting adalah guru mampu mengelolla emosi dan mampu menerapkannya saat pembelajan di kelas.

  4. Kesadaran penuh (mindfulness) muncul saat seorang sadar sepenuhnya pada apa yang sedang dikerjakan dengan pikiran terbuka, atau dalam situasi yang menghendaki perhatian yang penuh.

  5. Hal yang menarik selanjutnya adalah kesadaran penuh (mindfulness) dapat dilatih dan ditumbuhkan. Artinya, kita dapat melatih kemampuan untuk memberikan perhatian yang berkualitas pada apa yang kita lakukan. Kegiatan-kegiatan seperti latihan menyadari napas (mindful breathing); latihan bergerak sadar (mindful movement), yaitu bergerak yang disertai kesadaran tentang intensi dan tujuan gerakan; latihan berjalan sadar (mindful walking) dengan menyadari gerakan tubuh saat berjalan, dan berbagai kegiatan sehari-hari yang mengasah indera (sharpening the senses) dengan melibatkan mata, telinga, hidung, indera perasa, sensori di ujung jari, dan sensori peraba kita. Kegiatan-kegiatan di atas seperti bernapas dengan sadar, bergerak dengan sadar, berjalan dengan sadar dan menyadari seluruh tubuh dengan sadar juga dapat diawali dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan menyadari napas.

  6. Menyadari nafas merupakan hal utama yang dimiliki setiap orang untuk berada pada momen saat ini dan momen sekarang.

  7. Pikiran Manusia merupakan bagian diri kita yang seringkali sulit dikendalikan. Seorang ilmuwan dan filsuf bernama Deepak Chopra dalam website pribadinya menyebutkan bahwa manusia memiliki 60.000-80.000 pikiran dalam sehari.

  8. Karena sangat cair, pikiran dapat bergerak ke masa depan dan menimbulkan perasaan khawatir. Pikiran juga dapat bergerak ke masa lalu yang seringkali menimbulkan perasaan menyesal. Pikiran berada dalam situasi terbaiknya jika ia fokus situasi saat ini dan masa sekarang.

  9. Cara termudah untuk membuat pikiran dan perasaan berada pada saat ini dan masa sekarang adalah dengan menyadari napas. Selain itu, kegiatan menyadari napas juga juga paling mudah dilakukan karena dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, dan tidak membutuhkan alat bantu apapun kecuali napas kita sendiri.

  10. Latihan berkesadaran penuh (mindfulness) membutuhkan waktu untuk menenangkan diri dalam mengambil keputusan. Dengan sedikit beristirahat atau merelaksasi tubuh, kerja otak kita akan kembali segar dan bisa mengambil keputusan dengan tepat sasaran. Penggunaan latihan berkesadaran penuh (mindfulness) dengan menggunakan latihan S,T,O,P stop kita bisa melanjutkan kegiatan kita kembali. Latihan ini dapat membantu kita meredakan ketegangan atau stres yang sewaktu-waktu kita rasakan sehingga dapat mengembalikan fokus kita pada tugas-tugas atau keputusan-keputusan yang harus diambil.

  11. Latihan berkesadaran penuh (mindfulness) bermanfaat untuk membangun Kondisi berkesadaran penuh. Dengan melakukan latihan Mindfulness ini secara rutin, kita juga dapat membangun kemampuan merespon atau mengambil keputusan secara lebih efektif. Latihan ini juga latihan ini dapat membantu kita meredakan ketegangan atau stres yang sewaktu-waktu kita rasakan sehingga dapat mengembalikan fokus kita pada tugas-tugas kita. Kita juga dapat mempraktikkan latihan ini sebagai jeda dalam mengerjakan tugas atau untuk membantu kita membangun fokus dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

  12. Hubungan organ otak Prefrontal dengan latihan berkesadaran penuh (mindfulness) adalah membutuhkan waktu untuk menenangkan diri dalam mengambil keputusan. Dengan sedikit beristirahat atau merelaksasi tubuh, kerja otak kita akan kembali segar dan bisa mengambil keputusan dengan tepat sasaran. Penggunaan latihan berkesadaran penuh (mindfulness) dengan menggunakan latihan S,T,O,P stop kita bisa melanjutkan kegiatan kita kembali. latihan ini dapat membantu kita meredakan ketegangan atau stres yang sewaktu-waktu kita rasakan sehingga dapat mengembalikan fokus kita pada tugas-tugas atau keputusan-keputusan yang harus diambil. Jadi, Hubungannya bisa kita simpulkan bahwa keduanya dapat mempengaruhi dan menekan rangsangan.

Pemahaman atau praktek pembelajaran yang penulis lakukan selama ini adalah lebih dengan memulai pembelajaran berdiferensiasi dan juga sudah memulai mengembangkan budaya positif di kelas. Namun kedua hal tersebut bisa menjadi lengkap jika kita bisa menerapkan pembelajaran sosial emosional yang digabungkan dengan pembelajaran berdiferensiasi. Dengan Kolaborasi tiga hal tersebut, pengembangan diri peserta didik bukan hanya pada pengetahuannya namun jug bagaimana bisa berkolaborasi dan mengontrol emosi dan empati mereka terhadap teman dan juga guru.

Untuk mengaplikasikan dan mengkolaborasikan pembelajaran sosial emosional dengan budaya positif dan pembelajaran berdiferensiasi tentunya akan ada tantangan karena ini merupakan hal baru yang akan diaplikasikan di dalam kela. Seperti bagaimana manajemen waktu yang tepat sehingga pembelajaran bisa berjalan dengan lancar dengan kolaborasi kedua pembelajaran tersebut yang dielaborasi dalam perangkat pembelajaran. Hal yang kedua tentunya penulis perlu terus melakukan semulasi mengajar sehingga ketika pembejaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional dilaksanakan di REAL class maka akan berjalan denga lancar sesuai harapan

Namun, Seperti kutipan dari John Dewey (Philosopher, Psychologist) yang mengatakan bahwa:

"Kita tidak belajar dari pengalaman, tetapi kita belajar dari refleksi terhadap pengalaman kita"

Dari kutipan di atas adalah "REFLEKSI". Hal ini berhubungan dengan bagaimana kita selalu mengoreksi diri tentang pengalaman atau hal yang telah kita buat sehingga menjadi lebih baik dan terstruktur kedepannya.

Dengan bekal budaya positif, pembelajaran berdiferensiasi, pembelajaran sosial emosional dan nilai dan peran yang dimiliki oleh guru maka kedepannya kebahagiaan akan terpancar di wajah siswa-siswi kita.


3. Koneksi Antar Materi

3.1 Hubungan Pembelajaran Sosial Emosional dengan Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa “Pendidikan Budi Pekerti berarti pembelajaran tentang batin dan lahir. Pembelajaran batin bersumber pada “Tri Sakti”, yaitu: cipta (pikiran), rasa, dan karsa (kemauan), sedangkan pembelajaran lahir yang akan menghasilkan tenaga/perbuatan. Pembelajaran budi pekerti adalah pembelajaran jiwa manusia secara holistik. Hasil dari pembelajaran budi pekerti adalah bersatunya budi (gerak pikiran, perasaan, kemauan) sehingga menimbulkan tenaga (pekerti). Kebersihan budi adalah bersatunya cipta, rasa, dan karsa yang terwujud dalam tajamnya pikiran, halusnya rasa, kuatnya kemauan yang membawa pada kebijaksanaan.”

Dari kutipan di atas kita bisa melihat bahwa Ki Hajar Dewantara menginginkan pendidikan di Indonesia tidak hanya tentang bagaimana mempelajari ilmu pengetahuan yang bisa dipakai pada masa depan kelak namun tentang akhlak agar membantu peserta didik mampu memahami diri mereka sendiri.

Pembelajaran Sosial Emosional yang diimplementasikan di dalam kelas dapat membantu peserta didik agar bisa memahami diri mereka sendiri agar mampu berpikiran positif. Dengan adanya pembelajaran Sosial Emosional di dalam kelas, diharapkan bisa menumbuhkan emosi positif siswa dalam menghargai perbedaan, berempati dan juga bisa mengatasi stress dan masalah yang dihadapi.

Lebih lanjut, pembelajaran sosial emosional (Social Emotional Learning) sangat penting dan merupakan alat yang dibutuhkan peserta didik kita untuk menjadi tangguh, menjadi pemecah masalah dan dengan harapan menjadi seorang pribadi yang baik kedepannya.

SEL juga memberikan pengembangan holistik peserta didik yang optimal sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sisi emosional mereka. Dengan SEL juga bisa membawa keseimbangan untuk setiap individu dan membantu mengembangkan kompetensi pribadi apa yang dibutuhkan oleh setiap individu siswa untuk berkembang menjadi sukses.


Inti dari hubungan Pembelajaran Sosial Emosional dengan Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah siswa bisa memahami kesadaran diri, siswa mampu memahami pembelajaran sosial, bisa bertanggung jawab dan lain sebagainya.


3.2 Hubungan Pembelajaran Sosial Emosional dengan Peran dan Nilai Guru

Hubungan antara Hubungan Pembelajaran Sosial Emosional dengan Peran dan Nilai Guru adalah bagaimana seorang guru memulai dari diri harus bisa merefleksikan diri tentang dirinya sendiri. Dengan berefleksi kita memiliki waktu untuk introspeksi diri. Berbicara tentang introspeksi diri, kita bisa menggunakan Teknik S.T.O.P untuk membantu kita guru belajar untuk lebih tenang dalam menghadapi masalah baik itu dalam pekerjaan maupun hidup pribadi. Dengan Latihan Kesadaran Penuh (Mindfulness) kita bisa lebih mudah dan berani mengambil keputusan dengan kepala dingin.

Dengan Mindfulness juga bisa membantu meningkatkan kemampuan guru agar lebih bisa membuka diri untuk lebih mandiri, kreatif, kolaboratif yang nantinya akan kita gunakan di kelas guna keberpihakan kepada peserta didik kita.



3.3 Hubungan Pembelajaran Sosial Emosional dengan Budaya Positif

Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian, karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.


Agar tidak menjadikan peserta didik kita merasakan tekanan dalam lingkungan sekolah, perlu adanya menciptakan suasana positif di lingkungan sekolah. Urgensi dari menciptakan suasana positif di lingkungan sekolah dimana hubungan antara guru dengan murid menjadi faktor yang sangat penting dalam penerapan budaya positif di sekolah karena setiap hari guru adalah orang yang paling sering berinteraksi dengan murid. Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang menjadi rumah kedua bagi siswa. Sekolah merupakan tempat siswa belajar dan mengembangkan diri baik secara akademik maupun non akademik untuk meraih cita-cita yang diinginkan. Siswa membutuhkan perasaan aman, dihargai dan diterima oleh guru dan teman-temannya di sekolah. Oleh karena itu, siswa akan belajar dengan lebih baik ketika mereka memiliki persepsi yang positif terhadap sekolahnya. Lebih lanjut, Urgensi dari menciptakan suasana positif di lingkungan sekolah yaitu dengan menciptakan hubungan yang harmonis antara peserta didik dan pendidikan. suasana yang harmonis peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.


Hal-hal tersebut di atas bisa terlaksana jika:

  1. Siswa dihargai dan dihormati meskipun memiliki karakteristik berbeda. Keanekaragaman inilah yang membentuk keunikan dari masing-masing siswa. Setiap siswa patut untuk diperlakukan sama tanpa adanya tindakan diskriminatif meskipun memiliki keragamannya masing-masing.

  2. Siswa dapat belajar dengan tenang, siswa harus merasa aman baik secara fisik maupun psikologis. Siswa harus bebas dari segala bentuk tekanan yang menghalangi kebebasannya untuk mengekspresikan diri.

  3. Adanya kedekatan guru dan murid selayaknya sebagai orang tua kedua bagi siswa di sekolah, sedangkan teman-temannya di sekolah layaknya saudara bagi siswa. Kedekatan dapat terbentuk ketika adanya sikap saling menghargai, memahami, dan saling mendukung satu sama lain. 4.

  4. Sebagai guru, kita harus bisa memposisikan diri sebagai manager di kelas dan bisa menjadi coach untuk murid.

Dari penjelasan di atas, kita bisa mengaitkan hubungan antara budaya positif dengan pembelajaran sosial emosional. Keyakinan kelas dan budaya positif di kelas dengan menggunakan teknik berkesadaran penuh (Mindfulness) pada diri guru maupun siswa maka akan ada efek positif dalam merespon hal negatif. Dengan Latihan berkesadaran penuh dengan teknik S.T.O.P dan teknik yang lain, kita bisa mengingat kembali hal-hal kebajikan yang sudah dijalankan dan yang perlu ditingkatkan.


3.4 Hubungan Pembelajaran Sosial Emosional dengan Pembelajaran berdiferensiasi.

Ilmu tanpa adanya akhlak sama seperti Kendaraan yang mahal yang tak bermesin. Terlihat bagus dari luar namun tidak memiliki tenaga untuk bergerak.

Mungkin itu bisa menjadi ilustrasi jika kita belajar dengan berfokus pada pencapaian akademik tanpa memikirkan pencapaian budi pekerti.

Banyak orang pintar di negeri ini yang memiliki kecerdasan yang tinggi namun tidak memiliki akhlak yang baik maka terjerumus pada kejahatan dunia dan lain-lain.

Pembelajaran sosial emosional dalam kolaborasinya dengan pembelajaran berdiferensiasi mampu menjawab kebutuhan tersebut. Dengan kolaborasi keduanya ditambah dengan budaya positif makan diharapkan kedepannya akan memunculkan profil pelajarn pancasila yang tidak hanya andal di bidang ilmu mereka namun memiliki akhlak yang mumpuni.


Salam dan Bahagia

Comments


Komentar

Share Your ThoughtsBe the first to write a comment.
bottom of page